Sukses

Tusukan Pisau Komando Sang Kolonel

Nyawa mantan istri dan seorang hakim berakhir di ujung pisau komando seorang kolonel yang sedang kalap. Kini, dia harus bersiap menghadapi hukuman dunia yang paling berat: vonis mati.

Liputan6.com, Sidoarjo: Hari itu, Rabu 21 September 2005, tak ada yang istimewa di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo, Jawa Timur. Semua aktivitas rutin berjalan seperti biasa. Beberapa agenda persidangan yang dilangsungkan sejak pagi, berjalan dengan lancar.

Sebagaimana umumnya terjadi di pengadilan agama, kasus yang disidangkan memang tergolong biasa dan tak begitu menyedot perhatian. Karena itu pula, tak terlihat adanya pengamanan, dalam skala miminal sekali pun. Hal itu dinilai wajar, kasus yang disidangkan di sini bukan masalah kriminal yang menghadirkan para pelaku kejahatan.

Namun, berbeda dari biasanya, agenda persidangan yang cukup padat hari itu, membuat persidangan gugatan pembagian harta gono-gini yang diajukan Mohammad Irfan Juroni, baru dibuka sekitar pukul 15.00 WIB. Ketua Majelis Hakim Basuni beserta Muhammad Toha dan Ahmad Taufiq selaku hakim anggota, terlihat masuk ruang sidang setelah semua pihak yang berperkara duduk di kursinya masing-masing.

Di depan majelis hakim, Irfan beserta Eka Suhartini, mantan istri Irfan yang menjadi pihak tergugat, duduk dengan didampingi pengacaranya masing-masing. Tanpa menunggu lebih lama, Basuni segera membacakan amar putusan. Inti dari putusan majelis hakim menyebutkan, seluruh harta yang dihasilkan selama pasangan suami istri itu membina rumah tangga dibagi rata. Khusus untuk rumah yang ditempati Eka, dinyatakan menjadi milik mantan istrinya itu.

Sesaat usai pembacaan amar putusan, tak ada reaksi yang berlebihan dari Irfan. "Saya tidak akan mengajukan banding," hanya itu kalimat yang keluar dari mulut perwira angkatan laut berpangkat kolonel ini. Namun, tiba-tiba Irfan berdiri sambil mencabut pisau komando yang ternyata sudah dia siapkan sebelumnya.

Saat pengunjung sidang masih bingung melihat sikap pria bertubuh besar ini, pisau sudah ditusukkan ke perut Eka. Wanita ini tidak menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga dia berusaha mencegah tusukan kedua dari mantan suaminya itu. Tapi, Irfan yang seperti orang kesetanan terus menusukkan pisau ke tubuh Eka yang sudah bersimbah darah.

Di saat sebagian pengunjung terpana seolah tak percaya dengan apa yang terjadi, hakim Taufiq langsung mendekat untuk memisahkan keduanya. Upaya Taufiq agaknya tak berkenan di hati Irfan, pisau miliknya lantas diarahkan ke tubuh sang hakim. Tak ayal, Taufiq terjengkang dan terus dicecar oleh tusukan pisau kolonel yang tengah kalap itu. Saat kedua korban meregang nyawa, Irfan memilih kabur keluar ruang sidang.

Irfan agaknya baru tersadar dengan apa yang telah dilakukan. Bukannya berusaha untuk melarikan diri, dia hanya duduk diam di dalam mobil miliknya. Sebagian pengunjung yang melihat situasi itu, berusaha menghakimi Irfan. Bogem mentah sempat mendarat di wajah pria itu, sebelum dia diamankan polisi.

Di ruang sidang sendiri kepanikan masih terjadi. Tubuh Eka dan Taufiq yang terkulai tak bergerak, membuat sebagian pengunjung serta pegawai PA Sidoarjo tak tahu harus melakukan apa. Saat keduanya dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo, ajal sudah datang menjemput. Baik Eka maupun Taufiq tak kuat lagi menahan sakit serta kucuran darah yang terus keluar.

Kasus ini tak urung meninggalkan duka mendalam bagi keluarga kedua korban. Tak hanya itu, nada kesal serta kemarahan juga datang dari kesatuan tempat Irfan selama ini mengabdi. Tak ada lagi sikap hormat yang didapat perwira menengah itu tatkala dia dibawa petugas dari Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) ke ruang tahanan di Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) III Surabaya, Jatim.

Di kediaman Eka di Taman Asri Utara, Pondok Chandra Indah, Waru, Sidoarjo, suasana duka langsung terasa sesaat setelah kabar memilukan itu diterima keluarga. Betapa tidak, 20 tahun usia perkawinan Eka dan Irfan yang menyakitkan itu ternyata harus diakhiri dengan tiga tusukan di tubuh wanita itu. Padahal, keluarga Eka sebelumnya berharap perceraian keduanya bisa membawa ketenangan bagi putri mereka.

Eka adalah putri pertama dari Laksamana Pertama Purnawirawan R. Soetoro, mantan Wakil Gubernur Akademi Angkatan Laut. Kendati demikian, pernikahan antara Eka dan Irfan sama sekali bukan atas inisiatif keluarga. Keduanya berkenalan dalam sebuah acara, yang kemudian berlanjut dengan proses pendekatan hingga menuju ke jenjang pernikahan.

Namun, sepanjang masa perkawinan, percekcokan selalu mewarnai hari-hari yang semestinya dilalui dengan kebersamaan. Bagi Eka sendiri, upayanya untuk mempertahanankan rumah tangga selalu berujung dengan kekecewaan. "Irfan orangnya bertemperamen tinggi dan ringan tangan, yang membuat kehidupan keduanya tak pernah harmonis," ujar Soetoro.

Tak hanya Eka, tiga putra mereka juga merasakan hal yang sama. Hubungan antara ayah dan anak sama sekali tak terlihat di keluarga ini. Hal itu sangat dirasakan oleh putra sulung Irfan yang bernama M. Danu Faneka. "Kalau memang dia ayah yang baik, tentu sesekali akan mengajak anaknya jalan-jalan. Tapi dia tak ada keinginan melakukannya. Jangankan itu, memberi nafkah saja tidak ikhlas," papar Danu.

Sikap Irfan yang tak santun itu diperparah lagi dengan beredarnya kabar tentang hubungan gelap yang dia jalin dengan seorang wanita bernama Pujiastuti. Yang mengherankan, Irfan sama sekali tidak menutup-nutupi hubungan dia dengan wanita yang bukan muhrimnya itu. Beberapa kali, M. Deni Noviandini, putra bungsu Irfan, diajak jalan bersama Puji. "Kalau pergi paling dibeliin mainan," cerita Deni.

Kabar tersebut diperkuat oleh keterangan dari Endang Sumarsono SH, pengacara Eka. Menurutnya, Irfan sudah menganggap Puji seperti istrinya sendiri. Endang memberikan contoh, ketika hendak menjual mobil Suzuki Escudo milik keluarga, Irfan malah mengajak Puji. "Puji dihadirkan sebagai istri di showroom mobil itu, karena mobil tersebut milik Eka dan Irfan," jelas Endang.

Meski demikian, Puji membantah semua cerita tersebut. Ibu satu anak itu menolak disebut-sebut sebagai pemicu keretakan rumah tangga Eka dan Irfan. "Saya tidak punya hubungan khusus dengan dia. Kita hanya kenal sebatas teman karena ada hubungan bisnis," papar Puji. Tapi, penyangkalan itu sudah terlambat. Terlepas benar tidaknya keterangan Puji, sakit hati keluarga Eka tak akan bisa lenyap begitu saja.

Muak dengan kelakuan Irfan, rumah tangga mereka akhirnya tak bisa dipertahankan lagi. Keduanya lantas sepakat untuk bercerai pada Februari 2004. Namun, perceraian itu masih menyisakan masalah, yaitu menyangkut pembagian harta yang dinilai Irfan tidak adil. Bagi Irfan, tidak hanya harta berupa tiga buah mobil yang layak dibagi, rumah tempat mereka tinggal pun harus dibagi berdua.

Sakit hati tak hanya milik Soetoro dan keluarga. Keluarga lain yang tinggal di kawasan Menanggal, Gayungan, Surabaya, tak kalah pilu dengan kepergian Taufiq. Betapa tidak, posisi Taufiq sebagai suami dan ayah dari tiga orang putra tak akan tergantikan siapa pun. Berbeda dari Irfan, sosok hakim yang sudah 11 tahun menjalani profesinya itu adalah seorang kepala keluarga yang santun.

Sebagaimana dituturkan Finda Fauziah, putri sulung Taufiq, ayahnya adalah tipe orang yang tak mau merepotkan keluarga. Lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya itu selalu menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa melibatkan keluarga. "Ayah itu tidak pernah marah dan jarang mengeluh," papar Finda. Hal inilah yang membuat Endang Suparyati selaku istri menjalani bahtera rumah tangga tanpa mengumbar amarah atau keributan.

Atas luka mendalam yang ditimbulkannya, Irfan dalam waktu dekat akan kembali menghadiri persidangan. Irfan tak akan lagi melihat PA Sidoarjo, karena dia akan diseret ke mahkamah militer. Sebagaimana diungkapkan oleh Komandan Pomal Lantamal III Surabaya, Kolonel Winky Soendarwanto, pemberkasan kasus ini sudah hampir rampung. "Kita akan menjerat tersangka dengan Pasal 340 dan subsider 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana," jelas Winky.

Pasal yang menjerat Irfan memang tak main-main. Jika hukuman maksimal dalam pasal tersebut diterapkan, vonis mati akan jatuh bagi terdakwa. Pihak korps tempat Irfan bernaung agaknya tak mau menanggung aib dari perbuatannya. Tak ada pembelaan atau pernyataan yang meringankan dari lembaga ini. Bahkan, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Slamet Soebijanto, meminta agar yang bersangkutan dihukum seberat mungkin. "Hukuman mati pun pantas untuk dia," tegasnya.

Kesalahan Irfan memang sulit dimaafkan. Terlalu banyak cacat yang diperlihatkan oleh lulusan Akademi Angkatan Laut angkatan ke-28 ini. Sebagai seorang perwira militer yang berdisiplin tinggi, Irfan harusnya punya nalar yang lebih cerdas. Apalagi dengan embel-embel sebagai tenaga pengajar di Komando Pendidikan Angkatan Laut (Kodikal), tingkah Irfan sejatinya patut untuk ditiru.

Namun, di mata murid-muridnya di Kodikal, Irfan memang sosok yang tidak memiliki masalah. Hubungan dengan juniornya selama ini terjalin dengan baik. Tapi, penilaian itu kini tentu tak sama lagi. Aib yang ditorehkan Irfan sangat jauh dari sikap-sikap yang selama ini dia ajarkan di ruang kelas. Membunuh mantan istri dan seorang hakim dengan pisau komando, menghina ruang pengadilan serta bersikap tak santun terhadap keluarga, jelas bukan perilaku yang diharapkan dari seorang perwira TNI.

Kata maaf mungkin sulit untuk didapat Irfan. Tapi, dia masih punya kesempatan untuk memperlihatkan sikap kesatria yang dia miliki, dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Yang pasti, untuk persidangan kasus ini, Irfan tak akan bisa lagi menenteng pisau komando seenaknya. Sebab, preseden dari kasus ini seharusnya membuat setiap pengadilan bersikap waspada terhadap segala kemungkinan yang tak diduga.(ADO/Indri Mardian dan Dwi Nindyas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini