Sukses

Mbah Mardji Marto Deglek dan Wayang Tengul

Kecintaan Mbah Mardji terhadap wayang tengul memang sudah mendarah daging. Di saat orang sudah melupakan kesenian tradisional ini, dia rela ngamen wayang ke pelosok desa agar seni leluhur tersebut tetap dikenal.

Liputan6.com, Bojonegoro: Warga Dusun Ngrawan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, malam itu kelihatan sumringah. Mereka tampak riang dan asyik menikmati suara pesinden yang tengah melantunkan gending campur sari dengan iringan gamelan. Seraya menyimak alunan suara sinden, mata mereka menatap tajam ke arah panggung.

Di sana terlihat seorang laki-laki separuh baya dengan lincah tangannya memainkan benda mirip patung kayu. Ia adalah dalang Mbah Mardji Marto Deglek. Ya, memang saat itu Mbah Mardji tengah mementaskan kesenian tradisional wayang tengul. Dia diundang warga dusun tampil dalam hajatan peringatan Agustusan.

Rasa suka cita ternyata bukan hanya milik warga. Kebahagiaan juga terpancar di wajah Mbah Mardji. Pasalnya, setelah bertahun-tahun lamanya menjadi dalang, baru kali ini dia mendapat kehormatan tampil dalam rangka memperingati 60 tahun kemerdekaan negerinya. Bersama istri keduanya Martiningsih yang sekaligus menjadi pesindennya, Mbah Mardji mendalang begitu bersemangat.

Kegembiraan dalang yang memiliki nama asli Sumardji ini bukan hanya lantaran dia bisa tampil pada acara khusus. Tapi, yang lebih membanggakan dirinya adalah pementasan wayang tengul kali ini seolah menunjukkan jika kesenian itu masih ada. Nasib wayang tengul memang tak sebaik wayang purwa atau wayang kulit. Seni tradisional ini benar-benar nyaris punah.

Dan, hanya Mbah Mardjilah yang hingga kini dan mungkin sampai akhir hayatnya akan tetap berusaha memelihara dan mempertahankannya. Usahanya tak main-main. Selain mendalang pada acara tertentu, Mbah Mardji bersama kelompoknya Angling Dharmo juga sering ngamen wayang. Mereka rela mengamen berkilo-kilometer jauhnya menyusuri jalanan desa. Kecintaannya yang tinggi terhadap kesenian leluhur yang membuat dirinya mau melakukan hal seperti itu.

Sebelum berkeliling, Mbah Mardji bersama anak buahnya tampak sibuk. Mulanya mereka menyiapkan peralatan pengeras suara yang dipasang di depan stang kemudi sepeda. Tak lama kemudian berbagai macam alat gamelan pun dikeluarkan dan ditumpuk di atas becak. Hari ini Mbah Mardji dan rekan-rekannya akan melakukan pekerjaan ngamen wayang. Sebuah profesi yang sudah digelutinya bertahun tahun.

Ngamen wayang pertama kali dilakukannya pada 1984. Saat itu, untuk mendapatkan bahan makanan sangat sulit karena Kabupaten Bojonegoro tengah dilanda kekeringan yang berkepanjangan. Sebaliknya, jika musim hujan datang Sungai Bengawan Solo selalu meluap. Mbah Mardji pun akhirnya berinisiatif untuk mengamen wayang tengul keliling desa dengan upah berupa bahan makanan.

Namun, meski kehidupan mereka mulai berubah sejak dua tahun silam. Sulit bagi Mbah Mardji beserta kelompoknya untuk meninggalkan kebiasaan itu. Meski banyak orang yang memintanya agar mau mendalang di acara hajatan, sunatan maupun ruwatan.

Kecintaan Mbah Mardji terhadap wayang tengul memang sudah mendarah daging. Semenjak kecil dia sudah menunjukkan bakatnya. Ini berkat aliran darah seni yang diturunkan dari kakek dan orang tuanya Niti Giatmono yang lebih dikenal sebagai dalang kencik. Keduanya adalah dalang terkenal.

Meski orangtua dan kakeknya dalang kesohor namun Mbah Mardji tidak berani memegang wayang tengul milik orangtuanya karena takut dimarahi. Untuk melampiaskan kecintaannya, setiap pulang sekolah Sumardji kecil selalu singgah di makam keramat di desanya. Di sini dia membuat wayang tengul dari lumpur kuburan.

Ketika menginjak kelas empat sekolah dasar, bakatnya semakin terlihat oleh semua orang. Sekolahnya pun kemudian mengikutsertakannya pada lomba dalang cilik. Ternyata ia berhasil menyabet juara satu. Semenjak itulah, dia berterus terang kepada orang tuanya agar bisa membantu setiap kali akan mendalang. Akhirnya, Mbah Mardji pun diajak dan dibimbing orang tuanya memainkan wayang tengul dengan baik dan benar.

Ketika orang tuanya meninggal, Mbah Mardji pun akhirnya menggantikan posisinya hingga sekarang. Jika mengingat saat belajar menjadi dalang dari orangtuanya, dia pun tergerak hatinya untuk menularkan ilmunya kepada yang lain. Tak heran kini Mbah Mardji sering mengajarkan wayang tengul kepada anak-anak di desanya.

Mbah Mardji sehari-harinya hanyalah seorang petani biasa. Saat tidak sedang mendalang, dia bersama istrinya pergi ke ladang menengok tanaman singkongnya. Kebunnya yang berada di pinggiran hutan pohon jati tak begitu luas. Dia memanfaatkan lahan bekas tanah jarahan yang disewanya dari Perhutani.

Meskipun jenis tanahnya tergolong gersang namun baginya lebih dari cukup untuk mengais rejeki. Sikap pasrah dan menerima apa adanya tak lantas membuat hidup Mbah Mardji tak bahagia. Kesusahan yang dijalani bersama istrinya selama bertahun-tahun seolah tertutup oleh kecintaan mereka terhadap seni wayang tengul.

Buktinya tak hanya di atas panggung. Di tengah kebun pun istri Mbah Mardji senang melantunkan tembang-tembang Jawa untuk menghibur cucu angkatnya. Ketika hari menginjak siang, Mbah Mardji pulang ke rumahnya dengan membawa singkong yang tidak seberapa banyak.

Sementara itu, kesibukan lain terlihat di rumah Supardi di Desa Sidodadi, Kecamatan Sukosewu, Bojonegoro, Jatim. Rupanya, kediaman Supardi ini dijadikan tempat berkumpul anggota grup wayang tengul pimpinan Mbah Mardji.

Rupanya, selain kumpul-kumpul mereka juga bisa membuat wayang tengul. Supardi selain pandai menabuh gamelan dia juga memiliki keahlian membuat wayang. Kesibukan mereka mulai terasa sejak pagi. Awalnya, mereka mengumpulkan bahan yang biasanya dipilih dari kayu pohon randu alas. Satu tokoh wayang biasanya diselesaikan dalam waktu satu hingga empat hari. Setelah selesai berbagai tokoh wayang ditancapkan ke dalam batang pisang yang sengaja dibuat untuk seting panggung.

Wayang tengul sering juga disebut wayang menak. Sejenis dengan wayang golek hanya bentuk fisik dan asesorisnya berbeda. Ada semacam etika tak tertulis yang mereka lakukan setiap akan memasuki sebuah desa. Sang dalang selalu memainkan satu babak cerita dekat pepunden atau makam keramat. Ini ungkapan minta izin pada Sang Bahurekso penguasa alam gaib desa setempat karena mereka akan mengamen di wilayahnya. Sekaligus mereka minta dijauhkan dari malapetaka.

Konon, wayang tengul berasal dari Wali Songo ketika mendirikan Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. Untuk merayakannya, setiap masyarakat diminta membuat wayang dari kayu yang menyerupai manusia. Wayang tersebut kemudian dimainkan Sunan Kalijaga sebagai media dakwah syiar Islam.

Kisah lain mengatakan, wayang tengul berasal dari Kitab Menak dengan latar belakang budaya Arab. Cerita menak disadur dari kepustakaan Persia berjudul Qissai Emir Hamzah yang dibuat pada zaman Sultan Harun al-Rasyid pada 766 hingga 809 sebelum Masehi.

Dalam kesusasteraan Melayu, cerita itu lebih dikenal dengan judul Hikayat Amir Hamzah. Namun, bahasanya disesuaikan dalam versi bahasa Jawa. Kisah dalam kitab ini sudah berbaur dengan cerita-cerita panji babad tanah Jawa hingga runtuhnya Majapahit.

Serat menak ini sempat diubah oleh pujangga besar Surakarta Yosodipuro pada 1729 hingga 1802. Selain dibuat dalam bahasa Jawa, filsafat ceritanya juga diubah sehingga lebih mudah dicerna oleh masyarakat Jawa. Karenanya, tokoh yang ada di wayang tengul atau menak juga disesuaikan dengan lidah Jawa. Seperti pengucapan Umar bin Umayah menjadi Umar Maya.

Di Jawa Timur, wayang tengul masih sering dimainkan hanya di daerah Bojonegoro saja. Tak heran jika kesenian ini sekarang sulit ditemukan. Mungkin kini hanya Mbah Mardji Marto Deglek yang tetap berusaha melestarikan hingga akhir hayatnya.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, jauh di relung hati Mbah Mardji masih tersimpan kerisauan. Batinnya selalu bertanya, bisakah kesenian leluhur ini mampu bertahan seperti yang selama ini dia perjuangkan? Entah sampai kapan pertanyaan itu menggelayuti Mbah Mardji.(IAN/Soedjatmoko dan Binsar Rahardian)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.