Sukses

<i>Usabe Puseh</i>, Persembahan bagi Dewa

Warga Desa Ngis, Bali, menggelar upacara Usabe Puseh sebagai ritual tahunan untuk bersyukur kepada para dewa. Tetesan darah yang mengalir dalam ritual ini menjadi persembahan.

Liputan6.com, Karang Asem: Suatu hari di Desa Ngis, Karang Asem, Bali. Warga tampak berkerumun di pura desa. Tiba-tiba sejumlah warga tampak meronta dan bergerak seperti kerasukan. Beberapa lelaki mengeluarkan keris mereka. Selanjutnya ujung keris yang runcing itu ditusukkan berulang-ulang ke perut dan anggota tubuh lain yang tak tertutup kain. Tak ada luka maupun darah yang mengucur. Ini bukan sembarang atraksi.

Belum cukup keanehan itu terjadi. Sejumlah wanita desa juga kerasukan. Para wanita tua itu bergerak dalam tarian teratur. Bahkan, mereka menyantap seekor ayam dalam keadaan hidup-hidup dalam gerakan berirama. Buat warga, kedua aksi ini dikenal sebagai tari daratan dan legong.

Aksi di luar akal sehat itu terjadi sehabis prosesi puncak upacara Usabe Puseh atau Syukuran Bumi yang digelar warga. Syukuran ini adalah ritual sakral tahunan untuk persembahan dan wujud syukur kepada Sang Dewa.

Buat Desa Ngis, upacara itu adalah ritual istimewa. Beberapa hari sebelumnya, desa adat yang diapit sejumlah perbukitan itu telah memasang umbul-umbul atau penjor. Berbagai persiapan pun dilakukan untuk menyambut Syukuran Bumi.

Dalam upacara Usabe Puseh, yang terutama adalah kehadiran dehemalom selaku lambang laki-laki dan perempuan. Perlu diketahui, dehemalom merupakan keunikan tersendiri dalam adat Hindu Bali. Hanya di Desa Ngis simbol pasangan suci ini diwujudkan. Dalam tradisi adat, dehemalom adalah sepasang insan yang belum akil balig, tak cacat fisik dan tak memiliki hubungan keluarga dengan para pemimpin desa. Dehemalom dijadikan sebagai simbol kesuburan atau kesucian.

Kali ini, pemimpin adat dari desa yang telah berumur lebih dari empat abad itu telah memilih Wayan, 11 tahun. Bersama dengan gadis yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar, dipilih Kadek. Bagi kedua gadis cilik ini, ini adalah hari paling istimewa dalam hidup mereka. Terlebih lagi Wayan. Soalnya, upacara tahun ini membuat dia telah dua kali menjadi dehemalom. Wayan maupun Kadek akan dinobatkan sampai memasuki masa haid dan tak mengalami luka. Mereka mewakili lambang pemberi keturunan dan kesuburan dalam keluarga.

Menjelang sore hari, desa yang buat orang Karang Asem lebih dikenal tertutup karena lebatnya hutan yang mengitari tampak menggeliat. Sebagian besar warga mulai mengawali prosesi upacara sedekah bumi dengan melakukan ritual pemahbahan atau sebuah upacara untuk mensucikan simbol-simbol Dewa Hindu Bali. Prosesi dilakukan dengan mengarak dewa yang dihormati untuk disucikan di Pura Segare. Mereka juga mengusung pusaka-pusaka ampuh milik desa yang disimpan di Pura Puseh atau Pura Utama. Dengan diiringi musik gamelan Bali yang bertalu-talu, warga tak lupa membawa berbagai macam sesajian. Nantinya sesajian itu akan dipersembahkan kepada para dewa dewi dan Sang Hyang Widi Wisa.

Masyarakat setempat berkeyakinan, selama ini telah banyak diberi kemurahan dari hasil alam yang melimpah. Karena itu sudah sepatutnya memberi penghormatan terhadap keagungan dewa yang selalu disembah itu.

Warga lalu mengarak simbol dewa-dewa penguasa alam yang diletakkan di jempana itu sekitar lebih satu kilometer jauhnya. Saat mengarak, posisi Ide Betare (dewa-dewa penguasa alam) tak boleh sejajar dengan warga biasa. Soalnya, dalam kepercayaan Hindu Bali, Ide Betare adalah manifestasi Tuhan.

Sesampainya di Pura Segare, satu persatu mereka masuk mengelilingi sang dewa tiga kali. Hal ini dilakukan untuk menghormati Trimurti atau Dewa Wisnu, Brahma dan Siwa. Musik pengiring yang tiada henti membangkitkan gairah para pemuda pembawa tandu melakukan tarian jempane sebagai wujud keriangan hati. Sejenak kemudian, persembahyangan pun dimulai.

Empat pemimpin desa yang disebut Pemelingsir mewakili dan memimpin persembahyangan. Seorang Jero Mangku Puseh membacakan mantra-mantra, menghaturkan doa pada Sang Hyang Widi Wase. Air suci yang telah diberi mantra lalu dicipratkan ke arah sembilan simbol betare. Mereka meyakini pemberian tirta akan mengelakkan hal-hal buruk yang bakal terjadi. Sejumlah warga tampak khusyuk mengikuti prosesi ini. Mereka berharap kesejahteraan dan kesuburan alam tetap terjaga dengan baik.

Satu hari sebelum ritual puncak Syukuran Bumi, nuansa spiritual di Desa Ngis kian kental. Berbagai macam rangkaian upacara keagamaan terus digelar seperti tabuh rah atau tarung ayam. Dalam pandangan umat Hindu Bali, manifestasi Tuhan ada yang positif dan negatif. Untuk menyeimbangkan keduanya, warga melakukan tabuh roh agar terhindar dari gangguan roh jahat.

Selain itu, ritual ini juga sebagai persembahan terhadap Buteyadnye berupa tetesan darah ayam aduan. Ada tiga pasang ayam aduan yang digunakan. Sesuai adat, mereka memasang taji di kaki ayam aduan sehingga menyebabkan luka di bagian tubuh ayam yang beradu. Jero Mangku Puseh lalu memberikan mantra agar tabuh rah dapat menjadi penolak bala dari roh jahat yang dapat mengganggu jalannya syukuran bumi. Lantas tetesan darah dari ketiga pasang ayam dipersembahkan pada Trimurti.

Kala malam tiba, warga melengkapi upacara dengan melakukan beberapa tarian. Misalnya tari sakral sangian yang berasal dari Desa Bugbug di bagian selatan Desa Ngis. Kedua desa memiliki kekerabatan yang terkait erat dengan budaya agraris yang mereka jalani. Mereka saling membantu setiap kali kedua desa mempunyai hajatan besar. Dengan mantranya, sang pawing memohon dewa penguasa jagad alam semesta untuk mengusir hama tikus yang bisa mengganggu pertanian warga. Mereka percaya kesuburan hasil panen pertanian merupakan berkah Dewi Sri.

Penari memegang rotan sepanjang empat meter yang dipasangi bebunyian. Saat rotan bergerak perlahan, sang penari memulai tari sangian. Tembang yang mengiringinya menuntun rotan ikut bergerak. Warga percaya tarian ini dapat mengusir hama. Tarian diakhiri dengan pemberian air suci terhadap untaian rotan. Air suci seakan memurnikan kembali rotan dan menghaturkan doa bagi Dewi Sri.

Malam makin larut namun warga masih bertahan di tempatnya. Soalnya akan diadakan tarian kuda sebagai penutup. Tarian ini mengisahkan Dewa Siwa kala kehilangan kuda kesayangan. Sang Dewa yang marah di muka bumi disimbolkan dengan api-apian membara yang diinjak-injak penari tari kuda.

Sebelumnya, dua penari diberikan berbagai doa untuk menjaga keselamatan mereka. Lantas puluhan kulit kelapa dibakar. Nyala apinya membakar dan membetot perhatian. Dengan berdebar-debar, warga menyaksikan dua penari di sekitar api. Dua orang penari kemudian memulai atraksi. Besarnya kobaran api menambah kekuatan atraksi. Para penari yang seolah kerasukan menerobos bara api beberapa kali.

Besoknya tibalah puncak upacara. Wayan dan Kadek juga telah dipersiapkan menjadi dehemalom. Untuk menjaga kesucian dua gadis cilik ini, telah disiapkan aturan khusus. Keduanya tak boleh disentuh wanita yang sedang mengalami haid meski orang tua mereka sekalipun. Bahkan para wanita yang menghias dipilih dari wanita yang telah mengalami menopause. Keduanya juga harus mengenakan pakaian khusus seperti kain rajutan geringsing yang menambah kesan anggun. Kain tenunan itu turun temurun dari para leluhur desa.

Di bagian kepala mereka dipasang gelungan atau untaian rajutan bunga medori putih dan seromi. Wayan yang sebelumnya hanya gadis cilik biasa menjadi perwakilan warga desa untuk Usabe Puseh. Dengan ditemani orang tua, pecalang, dan aparat desa lain, dua gadis ini dikawal menyambut patung dewa dan air suci.

Sebagian warga menanti kedatangan rombongan dengan lantunan doa. Lalu datanglah iring-iringan yang mensucikan simbolis dewa dari Pura Sumuh, sekitar satu kilometer dari pusat Desa Ngis. Patung dewa diusung di atas kepala sebagai penghargaan. Dehemalom secara khusus menyambut prosesi penyerahan. Jero Mangku Puseh memulai penyembahan berkah Dewa Wisnu. Sebab dalam kepercayaan setempat, berkah Dewa Wisnu akan menyatu di dalam dehemalom.

Pembacaan mantra adalah awal dimulainya upacara. Begitu doa selesai, dehemalom akan melanjutkan upacara di pura. Para warga seterusnya dengan takzim membawa berbagai sesaji dan patung dewa berbentuk macan ke pura. Selangkah demi selangkah dewa akan diberikan ke tetua adat. Dalam kepercayaan Hindu Bali, patung dewa sebagai simbol penguasa alam gaib untuk menjaga perilaku manusia.

Patung dewa diletakkan di Bale Agung dengan melewati payung-payung pusaka. Penyerahan di Bale Agung merupakan tempat terhormat. Apalagi warga dilarang berdiri sejajar dengan patung tersebut. Setelah ditempatkan, para pemelingsir desa memasuki pura dari empat penjuru mata angin. Kedatangan dari empat penjuru ini melambangkan perwujudan penguasa alam. Pakaian mereka beruntai menutup tumit kaki sepanjang tiga meter. Dengan berpasangan mereka menapaki Bale Agung dan secara bersamaan menghadap ke timur untuk memberkahi santunan umat. Beberapa pengiring yang bertugas membawa sesaji segera menaruh di atas Bale Agung. Para pemelingsir berdiri sejajar dan berdiri dengan posisi tangan bersemedi.

Saat bersamaan, warga mulai duduk bersimpuh dengan membawa sesajian. Acara puncak ditandai dengan masuknya pasangan suci dehemalom ke lokasi penghormatan. Sebab keduanya dianggap sebagai bagian dari penuai kesuburan alam semesta. Tangan mereka bergerak seakan memberikan aksara penghormatan terhadap para dewa.

Keduanya berjalan menuju pemelingsir desa selaku lambang penguasa alam. Lalu empat pemelingsir memberikan kembang kepada pasangan suci. Kembang bermakna harapan akan memberikan hasil buah yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia maupun kelestarian alam. Setiap pemelingsir memberikan doa dan menitipkan kembang buat dehemalom. Setelah prosesi selesai, pasangan suci Wayan dan Kadek digendong keluar pure. Selanjutnya, warga berebut memberi sesajian di Bale Agung dengan harapan mendapat berkah tahun ini.(MAK/Hardjuno Pramundito dan Bambang Triono)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.