Sukses

Permufakatan Jahat Sebuah Keluarga

Herman dibunuh karena dituduh sering mencuri makanan dan uang di rumah keluarga tersangka. Korban tewas karena pukulan keluarga Herlan yang menggunakan kayu. Herlan diancam hukuman mati.

Liputan6.com, Semarang: Sinar matahari di kaki Gunung Telomoyo, Semarang, Jawa Tengah, 10 Agustus silam, terasa sangat panas. Beberapa warga berkerumun di sebuah tempat pemakaman umum Desa Wirogo, Banyubiru, Kabupaten Semarang. Wajah mereka terlihat tegang, sesekali terdengar bisik-bisik dari kerumunan warga.

Warga semakin penasaran saat jajaran Kepolisian Resor Semarang dan tim forensik mengangkat sesosok mayat dari liang kubur. Sebagian lagi mencoba menutup hidung karena bau busuk yang keluar dari jasad Herman, ayah satu anak yang sudah dikubur sejak 13 hari silam.

Saat dikeluarkan dari kuburan, kondisi jasad Herman sangat mengenaskan. Badannya penuh bekas luka dan kepalanya juga memar akibat pukulan benda keras. Dugaan kalau Herman tewas dibunuh pun makin kental. Sebelumnya tetangga yang memandikan jenazah korban juga telah curiga melihat tanda-tanda penganiayaan di tubuh Herman.

Kematian Herman yang tiba-tiba memang meninggalkan tanya. Kecurigaan tak hanya datang dari yang memandikan jasad korban, sejumlah warga pun demikian, menilik fakta seputar kematian Herman. Namun warga memilih bungkam. Bahrum, misalnya, mengaku sempat menyaksikan mayat pria malang ini tergolek kaku di kamar korban.

Titik terang mulai terkuak lewat penuturan Mustofik, anak korban. Mustofik adalah yang pertama kali menemukan jasad ayahnya dalam kondisi mengenaskan. "Ayah saya meninggal dengan penuh luka dan memar di wajah, badan, dan leher," kata Mustofik. Namun Mustofik tak bisa berbuat banyak. "Saya takut karena diancam," kata dia.

Mustofik menambahkan, yang menjadi sasaran pembunuhan bukan hanya sang ayah, tapi termasuk juga dirinya. Malam itu, menurut Mustofik, tanpa alasan jelas diminta untuk menginap di rumah Herlan, kakak korban yang rumahnya berdekatan. Saat itu Mustofik diajak menginap oleh Siswanto, anak Herlan.

Fakta-fakta ini semakin membuat kuat kecurigaan warga kalau pelaku pembunuhan terhadap lelaki yang telah menduda delapan tahun itu tak lain adalah keluarga Herlan. Warga akhirnya melaporkan kejadian itu kepada Polres Semarang. Polisi kemudian memeriksa Herlan dan Sukarsih, istrinya serta Siswanto dan Istianto, keponakan Herlan.

Di hadapan polisi Herlan membantah tuduhan warga. Dia pun berani bersumpah. "Jika saya benar yang membunuh Herman, maka biarlah semua anak saya mati," kata Herlan. Menurut Herlan, tuduhan itu semata-mata untuk menjebloskannya. "Banyak saksi kalau pada malam itu saya mengikuti perkumpulan kampung. Kalau tidak percaya saya bisa panggil mereka," ungkap Herlan.

Polisi tak percaya. Lewat pemeriksaan agak panjang, akhirnya tersangka satu per satu mengaku telah menghabisi nyawa kerabat mereka. Pembunuhan dikerjakannya bersama-sama. "Sebenarnya tak punya niat membunuh, saya hajar tapi paginya saya tengok Herman udah meninggal," kata lelaki yang bekerja sebagi petani ini.

Sementara Sukarsih mengaku terpaksa membunuh Herman karena ajakan suaminya. "Saya sebenarnya tak begitu jengkel dengan Herman," kata perempuan tua ini. Pun demikian dengan Istianto. Dia juga diancam Herlan untuk tidak bercerita kepada warga. "Kamu saya bunuh juga," kata Istianto menirukan ucapan Herlan.

Herlan terpaksa berbuat nekat karena kesal dengan perilaku Herman. Pria yang cacat mental itu sering mencuri barang-barang miliknya. "Herman selalu mencuri uang dan beras, tiap hari," kata Herlan. Puncak kekesalan Herlan terjadi pada 28 Juli silam. Dia mengajak anggota keluarganya untuk menghajar Herman.

Peristiwa pembunuhan bermula saat Herlan baru pulang dari sawah. Dia tak mendapati satu pun makanan di rumahnya. Dia menanyakan kepada istrinya. Seperti yang sudah-sudah, Sukarsih mengatakan, semua uang dan beras diambil Herman. Oleh karena itu dia tak bisa memasak. Herlan dongkol.

Lelaki yang telah dirasuki amarah ini lalu mengajak istri dan anaknya untuk memberi pelajaran pada Herman. Mereka bergegas menuju rumah korban. Di tengah jalan Herlan bertemu Istianto. Herlan lalu mengajak pemuda itu untuk membantu persekongkolan mereka menghabisi nyawa mantan suami Tarwiyati ini.

Setiba di rumah korban, mereka tak langsung masuk. Mereka melihat situasi sekitar. Setelah dirasa aman, para tersangka masuk dan menghajar Herman yang sedang tertidur. Herlan mengambil kayu dan dipukulkan ke bagian tubuh korban. Tak puas, Herlan pun menghajar kepala korban. Darah segar muncrat kemana-mana.

Tak tinggal diam, Sukarsih dan Siswanto ikut ambil bagian. Istianto yang bertugas memegangi tubuh korban pun mengambil sebatang kayu. Istianto mengayukan kayu itu bertubi-tubi ke badan Herman. Ayah satu anak ini tak berdaya. Namun mereka terus menghajarnya. Herman pun meregang nyawa.

Kematian Herman meninggalkan duka mendalam bagi warga sekitar. Menurut warga, tuduhan kalau Herman suka mencuri barang tersangka adalah fitnah. Selama ini, menurut warga, korban adalah sosok yang baik. "Herman tidak mungkin suka mencuri beras dan uang milik Herlan," kata salah seorang warga.

Kini, hukuman berat menanti keluarga Herlan. Menurut Kepala Polres Semarang Ajun Komisaris Besar Polisi Agus Sukamso, Herlan dan keluarganya harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang membuat nyawa Herman melayang. Ancaman hukuman berat pun telah menanti. Mereka terancam hukuman mati.(JUM/Tim Derap Hukum)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.